Kebanyakan orang menjelaskan bahwa Bulan Ramadhan adalah sebagai tamu. Oleh karena itu, mereka menyapa atau mengucapkan kalimat selamat datang atau marhaban ya Ramadhan. Seolah-olah bulan itu bertamu ke rumah kita dan harus disambut dan diperlaklukan sebagaimana tamu yang baik. Pandangan tersebut kiranya tidak keliru, oleh karena hal itu sudah menjadi sesuatu yang umum

Namun Agak berbeda dari pandangan tersebut, saya justru memahami bahwa yang bertamu itu bukan Bulan Ramadhan, melainkan justru kitalah sebagai orang yang beriman diseru dan seharusnya bertamu. Pada umumnya tamu datang dan ikut bertempat di rumah dalam waktu singkat, Sementara, pemilik rumah itulah yang selamanya menempati tempat itu.

Diukur dari cara sederhana tersebut, maka yang lebih lama berada di dunia ini adalah Bulan Ramadhan. Hingga kapapun, sepanjang dunia ini masih ada, Bulan Ramadhan masih tetap ada. Sebaliknya, ketika kita sudah meninggal, tidak akan dikenal lagi. Maka sebenarnya yang menempati posisi sebagai tamu adalah kita, dan sebaliknya, Bulan Ramadhan lebih pantas disebut pemilik rumah.

Sebagai tamu maka harus mau diatur dan mengikuti apa saja yang menjadi ketentuan pemilik rumah. Bukan sebaliknya, tamu yang mengaturnya. Tamu harus mau menjadi seperti mayyit, ialah diapa-apakan saja tidak akan menolak. Tamu tidak boleh menguasai pemilik rumah. Sebagai tamu harus mau dikuasai dan diperlakukan dengan cara apapun.

Pada Bulan ramadhan, kita sedang berposisi sebagai tamu, ialah tamu bulan itu. Maka sebagai tamu yang baik, seharusnya mengikuti apa saja ketentuan pemilik rumah. Pada Bulan Ramadhan, orang-orang yang beriman diwajibkan berpuasa, melakukan shalat malam atau shlat tarweh dan witir, menjauhkan diri dari perbuatan dosa seperti hasut, iri hati, dengki, takabur, permusuhan, fitnah, berbohong, bakhil, dan sejenisnya. Perintah dan larangan itu, sebagai tamu yang baik, harus mengikuti sebaik-baiknya.

Sebagai tamu yang seharusnya mengikuti ketentuan tuan rumah, bukanlah pekerjaan ringan. Ketentuan itu, bagi orang yang tidak ikhlas, akan dirasakan berat. Sekedar meninggalkan makan, minum dan hal lain yang membatalkan puasa kiranya mudah. Akan tetapi mempuasakan hawa nafsu adalah bukan perkara mudah. Orang yang sedang berpuasa tidak boleh bermusuhan, saling memfitnah, hasut menghasut, dengki, menyakiti hati orang lain, bakhil, takabur, berbohong, dan sejenisnya.

Senbagai tamu yang baik, maka apa saja yang menjadi ketentuan tuan rumah seharusnya diikuti. Manakala melanggarnya, maka akan disebut sebagai tamu yang tidak tahu diri, tamu yang maunya sendiri, maka akhirnya tidak akan diakui sebagai tamu yang baik. Padahal tamu yang akan diberikan penghargaan, ialah derajad taqwa, adalah tamu yang mengikuti apa saja yang menjadi kemauan tuan rumah. Sebaliknya, bukan tamu yang ikut mengatur dengan seenaknya pemilik rumah.

Manakala., seseorang pada bulan Ramadhan, berhasil menjadi tamu yang baik, ialah menjalankan puasa dan mengjauhkan apa saja yang membatalkan dan mengurangi keutamaan bulan itu, maka akan menjadi orang yang berderajad tinggi, yaitu taqwa. Sebaliknya, manakala kita berperilaku seakan-akan sebagai tuan rumah, dan kemudian mengatur, artinya berpuasa dengan seenaknya, maka puasanya tidak akan memperoleh apa-apa. Tentu, di Bulan Ramadhan kita tidak perperilaku sebagai tuan rumah, melainkan menjadi tamu yang baik, yaitu menjalankan apa saja yang menjadi ketentuannya. Wallahu a�lam